Рет қаралды 4,132
ENAM KISAH MENCARI KEJERNIHAN KENDENG
Sebenarnya tak ada yang istimewa di Kendeng. Ia tak berbeda dengan puluhan ribu desa di Indonesia, dengan tumpukan masalah dan centang perenang penanganannya. Kendeng seolah istimewa karena ia sering mendapat lampu sorot pemberitaan.
Tapi ‘keistimewaan’ ini harus dibayar mahal. Banyak bias muncul karena pertarungan narasi antara korporasi, pemerintah, NGO mau pun organisasi keagamaan tertentu; yang berlomba membingkai masalah berdasar kepentingan mereka. Akibatnya: masalah nyata di lapangan tak terpahami, apalagi memperoleh jalan keluar.
Masalah pertama muncul dari pemilihan jargon yang keliru. Jargon ‘Kendeng Lestari’ hampir pasti dibuat oleh orang yang tidak paham kondisi Kendeng, atau tidak paham bahasa Indonesia.
Menurut KBBI, lestari artinya: tetap seperti keadaannya semula; tidak berubah; bertahan; kekal. Merujuk ke arti ini, orang akan membayangkan kondisi Kendeng baik-baik saja.
Padahal, kondisi Kendeng jelas tidak baik-baik saja. Dua contohnya: hutannya sudah rusak karena penebangan liar, dan massifnya penambangan di Rembang.
Masalah kedua muncul karena argumennya fokus pada masalah air. Air di Kendeng sangat dibutuhkan oleh warga. Ini bukan argumen yang salah; tapi karena secara diametral dipaksa berhadapan dengan kemungkinan rusaknya sumber air oleh pabrik semen; titik tekannya cenderung bergeser, sehingga menciptakan citra seolah selama ini air dari Kendeng mencukupi kebutuhan warga.
Sekadar kilas balik; sebelum hutan rusak pun, air sudah menjadi masalah warga. Saat musim kemarau, bantuan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari sangat dibutuhkan oleh banyak desa di wilayah Kendeng.
Belum lagi untuk pertanian. Sebagian besar mengandalkan tadah hujan. Desa-desa lain di sekitar Kendeng tak seberuntung Sukolilo, yang pertaniannya terbantu karena Orde Baru membuat jalur pasokan air dari Kedung Ombo.
Memang, di Kendeng ada sumber-sumber air yang besar, yang kecuali mencukupi kebutuhan sehari-hari warga, juga mencukupi kebutuhan untuk pertanian. Tapi tak banyak jumlahnya. Yang banyak sumber air yang sedang sampai kecil, yang hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari warga. Sumber seperti inilah yang tak cukup digunakan saat kemarau.
Generalisasi tentang ketercukupan air, membuat masalah ini tak tersentuh, apalagi diselesaikan.
Masalah ketiga adalah citra bahwa kondisi petani Kendeng baik-baik saja. Saat harus membela petani melawan korporasi, mereka malah meromantiskannya, sehingga masalah sosial-ekonomi nyata para petani justru tak tersentuh.
Rata-rata petani di wilayah Kendeng hanya memiliki tanah seperempat hektar. Dengan tanah sebesar ini, dengan kondisi tadah hujan; bisa dibayangkan kecilnya penghasilan mereka.
Tak mengherankan bila tingkat perantauan sangat tinggi. Tingkat perantauan, terutama bagi warga yang tinggal di pegunungan, sangat menurun justru setelah terjadinya peristiwa penebangan liar di tahun 1998-2000. Mereka memanfaatkan ‘bekas’ hutan jati ini untuk berladang. Dari sini kehidupan ekonomi mereka membaik.
Tentu saja, meski menguntungkan para petani di pegunungan, tapi gundulnya hutan jelas membawa dampak buruk bagi warga di lereng atau di bawah Kendeng. Banjir dan tanah longsor pun jadi peristiwa tahunan.
Akibat romantisasi petani, masalah ini tak pernah muncul ke permukaan. Akibatnya, penyelesaian menyeluruh tentang masalah ini pun tak pernah ada juga.
Masalah keempat adalah narasi tunggal bahwa masalah Kendeng adalah pabrik semen. Karena narasi ini, orang mengabaikan fakta-fakta penambangan massif yang terjadi di Rembang sejak awal tahun 2000-an. Lebih ironis lagi, sejak 2016 penambangan besar-besaran juga mulai berlangsung di wilayah Sukolilo. Tapi, ini semua tak pernah menjadi pusat perhatian.
Masalah kelima adalah adanya upaya sistematis untuk mengidentifikasi gerakan penolakan sebagai gerakan kelompok Samin. Upaya ini sudah dimulai sejak gerakan penolakan pabrik semen oleh warga di Sukolilo.
Pada tahun 2010, salah satu ‘pembimbing’ mereka bahkan membuat diskusi di Australian National University dengan judul Samin vs Semen. Alur dan muatan diskusi tersebut persis seperti yang kemudian dibuat film dengan judul sama pada tahun 2015.
Identifikasi ini bukan tanpa akibat di masyarakat bawah. Banyak yang enggan ikut gerakan penolakan, karena tak mau disebut sebagai kelompok Samin. Sementara bagi masyarakat luas yang tak mengenal Kendeng, yang terbangun adalah citra bahwa warga Kendeng adalah masyarakat Samin. Dan, lebih jauh lagi, secara tersirat Kendeng adalah tanah adat masyarakat Samin.
Masalah keenam adalah adu domba, stigmatisasi yang dilakukan oleh kelompok yang mencoba memaksakan diri menjadi saluran tunggal penolakan. Orang atau kelompok yang berada di luar jangkauan mereka, segera distigma sebagai orangnya pabrik semen. Ini yang dialami oleh banyak orang dan kelompok. Tentu saja, ini menyebabkan kekompakan unsur perlawanan menjadi melemah.
#AyatAyatKendeng