Рет қаралды 122
Rape Culture sebagai budaya - Di Indonesia, istilah rape culture bukanlah istilah yang terlalu familiar. Penyintasan kekerasan seksual seringkali dikucilkan oleh masyarakat. Misalnya, dalam kasus pemerkosaan, ara korban kerap dianggap sebagai perempuan yang telah ternoda, kotor, tak pantas disentuh lagi apalagi dicintai. Kebiasaan victing blamming atau menyalahkan korban seperti ini diasosiakan dengan ”rape culture”, yaitu menurut UN Women adalah lingkungan sosial yang memungkinkan kekerasan seksual dinormalisasi dan dibenarkan, didorong oleh ketidaksetaraan gender yang terus-menerus. Salah satu permasalahan maraknya “Rape Culture” di Indonesia dikarenakan tidak adanya Undang-Undang yang daat menjerat pelaku. Dengan tidak memprioritaskan RUU PKS, para pembuat undang-undang justru melanggengkan budaya pemekorsaan di Indonesia.
Berdasarkan data statistik KOMNAS PEREMPUAN, sepanjang tahun 2020 terdapat 14.719 kasus kekerasan terhadap perempuan. Oleh sebab itu, masyarakat menuntut agar DPR RI segera mensahkan RUU PKS. Dilansir dari berita harian Kompas.com pada 15 Januari 2021, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS) masuk kembali dalam 33 RUU yang ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2021. Namun perjalanan masih panjang sebelum RUU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang. Masih banyak bias dan perspektif yang berbeda terkait urgensi kekuatan hukum terhadap masalah kekerasan seksual di Indonesia, meski banyak pihak sudah menganggap Indonesia sebagai darurat kekerasan seksual.