Рет қаралды 6,642
Satu abad lebih telah berlalu, tepatnya 129 tahun. Kota Cilegon menyimpan sebuah kisah tentang perlawanan dari kaum tani. Pemberontakan tersebut disinyalir sebagai salah satu pemberontakan kedua yang terjadi di Hindia Belanda setelah peristiwa pemberontakan kaum tani di Ciomas, Bogor, tahun 1886.
Peristiwa Geger Cilegon disebut-sebut salah satu pemberontakan tani terbesar setelah pembubaran Kesultanan Banten 1813 oleh V O C dan sebelum Pemberontakan Kaum Tani 1926 di Anyer (yang diperuntukan untuk kemerdekaan). Geger Cilegon dipelopori oleh seorang tokoh agama yang bernama Haji Wasyid atau biasa disebut Ki Wasyid. Pemberontakan tersebut bermula dari kesewenang-wenangan pihak Vereenigde Oostindische Compagnie (V O C) yang mengokupasi Banten sebagai salah satu wilayah taklukan/jajahan.
Sebagai salah seorang agamawan, Ki Wasyid sering memberikan fatwa dan mengingatkan warga Cilegon saat itu bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun fatwanya kurang diindahkan. Karenanya, pada suatu malam, Ki Wasyid dan muridnya menebang pohong yang disebut berhala. Inilah yang menyebabkan Ki Wasyid diseret ke pengadilan kolonial pada 1887.
Saat itu, kondisi makin diperburuk akibat meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda pada tanggal 23 Agustus 1883. Letusan tersebut menyebabkan gelombang laut yang meluluhlatakkan Anyer, Caringin, Sirih, Pasuruan, Tajur, dan Carita. Selain itu, ada bencana kelaparan, penyakit pes, dan penyakit hewan ternak.
Fenomena tersebut berlangsung selama lima tahun. Peristiwa yang terjadi juga disebut-sebut sebagai salah satu pelatuk pada Ki Wasyid untuk melakukan perlawanan terhadap kependudukan V O C.
Pemberontakan 1888 terjadi juga disebabkan oleh pejabat - pejabat pemerintah kolonial di Cilegon mengeluarkan sirkuler (surat edaran) kepada bawahannya untuk melarang pembacaan shalawat Nabi dan doa-doa lainnya dengan suara keras di masjid. Pemerintah kolonial juga menghancurkan menara masjid Cilegon dengan alasan telah terlalu tua. Hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan ini dijawab oleh rakyat banyak dalam bentuk pemberontakan yang bertujuan lebih luas lagi, yaitu mengenyahkan kekuasaan Belanda dari daerah itu.
“Sejak peristiwa tersebut, kehidupan masyarakat Banten pun meningkat dalam segi keagamaan. Disamping itu, agama jadi alat pembebasan. Karena melalui agama, Ki Wasyid mengorganisir masyarakat dengan dakwah,” ungkap Budi Satyana, salah seorang budayawan di Banten.
Pemberontakan bermula pada tanggal 9 Juli 1888, dini hari. Pemberontak berjumlah 100 orang dan seluruhnya bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja untuk menyerang rumah residen Francois Dumas, selaku juru tulis di kantor asisten residen V O C. Akan tetapi Dumas melarikan diri dan terpisah dari anak beserta istrinya. Dumas bersembunyi dirumah tetangganya yang berprofesi sebagai jaksa. Sedangkan anak beserta istrinya bersembunyi dirumah seorang ajun kolektor.
Saat itu, para pemberontak bertitik temu di Pasar Jombang Wetan, Cilegon. Selaku pemimpin, Ki Wasyid membagi pasukan menjadi 3 kelompok. Pertama, pasukan dipimpin oleh Lurah Jasim, seorang Jaro Kajuruan. Kedua,pasukan dipimpin Haji Abdulgani dan Haji Usman. Ketiga, pasukan dipimpin oleh Haji Tb. Ismail. Fokus penyerangan saat itu adalah pembebasan tahanan politik, kepatihan, dan rumah asisten residen yang berletak di alun-alun Kota Cilegon.
sumber: berdikarionline.com
Contact Business: jejaklampau2021@gmail.com
Jejak Lampau Social Media:
Website: www.jejaklampau.com
Tiktok: / jejaklampausejarah
Facebook: / jejaklampausejarah
Instagram: / jejaklampausejarah