Рет қаралды 6,281
Danghyang Nirartha mengawali perjalanannya ke Lombok dan Sumbawa dengan menyusur wilayah utara Pulau Bali. Beliau melakukan perjalanan dengan berjalan kaki dari Gelgel setelah mendapat ijin dari Dalem Waturenggong.
Setiba di Sasak Danghyang Nirartha mengajarkan Agama Islam Waktu Telu kepada orang-orang Sasak. Di sana beliau dianggap guru dan diberi gelar Tuan Semeru. Tempat beliau mengajar disebut Suranadhi, yakni sebuah asrama yang indah diapit oleh dua buah telaga.
Berkat kesidian beliau, di pinggir asrama itu kemudian timbul 4 sumber mata air yang diberi nama Catur Tirta, terdiri dari: tirta penglukatan, tirta pebersihan, tirta pengentas dan toya racun.
Banyak orang yang datang kepada Danghyang Nirartha, baik untuk keperluan memohon ajaran kebatinan dan ketuhanan maupun pembersihan diri. Orang-orang Islam berbaur dengan orang-orang Hindu dan hidup rukun, saling menghormati keperayaan masing-masing.
Setelah merasa cukup memberikan ajaran di Suranadhi, Danghyang Nirartha melanjutkan perjalanan ke Sumbawa. Setelah mendarat di Sumbawa, Danghyang Nirartha dan nahkodanya berjalan kaki. Banyak warga yang berpapasan dengan mereka di tengah jalan. Mereka pada memberikan jalan dan merasa takjub akan wibawa beliau.
Banyak penduduk yang bertanya kepada nahkoda, siapa yang diiringinya itu. Nahkoda itu mengatakan bahwa beliau adalah seorang pandita yang bernama Tuan Semeru. Beliau berasal dari Daha, Jawa Timur.
Lebih lanjut dikatakan oleh nahkoda itu, bahwa ia pernah diselamatkan oleh beliau ketika mengalami kecelakaan, perahunya terdampar di Bali, hingga ia masih hidup sampai saat ini. Ia ke Sumbawa mengiringi beliau yang bermaksud menemui saudara sepupunya.
Warga Sumbawa tahu siapa yang dimaksud dengan saudara sepupu Tuan Semeru. Sayangnya junjungan mereka dari Majapahit itu sudah lama wafat. Mendengar hal itu Danghyang Nirartha terus saja berjalan dan ahirnya tiba di kaki Gunung Tambora.
Di Sumbawa disebutkan ada seorang penghulu kaya raya yang mempunyai banyak anak, tetapi sangat kikir. Setiap hari kerjanya hanya menghitung kekayaan. Ia suka meminjamkan uang dengan bunga tinggi.
Walaupun ia kaya raya, ia tidak memperhatikan kehidupan anak-anaknya. Ada seorang anaknya yang bernama Dendenwangi, berumur 6 tahun. Karena tidak mendapat perawatan sebagaima mestinya, sejak kecil ia sakit-sakitan. Semakin lama tubuhnya semakin kurus, lemah dan akhirnya tak sadarkan diri.
Mendengar bahwa ada seorang pandita sakti yang mampu menyembuhkan penyakit, penghulu itu mendatangi Tuan Semeru dan memohon agar beliau berkenan mengobati anaknya. Dan bila berhasil disembuhkan, penghulu itu berjanji akan menyerahkan anaknya kepada Tuan Semeru sebagi pelayan beliau.
Setelah Tuan Semeru berhasil menyembuhkan anak itu, beliau berkata bahwa sejak saat itu beliaulah yang menjadi ayah anak itu dan karenanya akan dibawa serta ke Bali. Setelah dewasa, Dendensari lalu dikawinkan dengan cucu beliau yaitu Ida Ketut Buruan Manuaba. Merekalah yang kelak menurunkan Brahmana Manuaba di Bali.