Рет қаралды 18,582
Kanal Bali Jani ~ Setelah Ashtasura Ratna Bumi Banten atau Dalem Bedahulu wafat, keadaan Bali jadi sunyi sepi tanpa pemimpin. Tidak ada yang mengatur adat dan agama. Tidak ada yang memelihara dan menghaturkan yadnya di parahyangan. Bali betul-betul tampak seperti akan mengalami kehancuran.
Keadaan itu sampai ke telinga Raja Majapahit, Tribhuana Tungga Dewi. Beliau segera memerintahkan agar Gajah Mada mengatur kembali tatanan kehidupan di Bali, terutama tentang kewajiban para brahmana, kesatria, dan para pemangku adat supaya mengatur dan melaksanakan kembali yadnya di semua prahyangan di Bali.
Atas petunjuk para mpu dan pertimbangan Danghyang Kepakisan, maka Gajah Mada menugaskan Mpu Dwijaksara, keturunan Mpu Gnijaya, supaya datang ke Bali untuk menyelesaikan kewajiban melaksanakan upacara pujawali agar Pulau Bali mendapat keselamatan.
Mpu Dwijaksara yang sudah menginjak usia senja segera datang ke Bali beserta anak, istri dan cucu. Mpu Dwijaksara punya anak bernama Mpu Jiwaksara. Sebelum ada Adipati di Bali, Mpu Jiwaksara yang datang bersama ayahnya ke Bali lalu ditunjuk sebagai penguasa Bali oleh Raja Majapahit dengan gelar Ki Patih Wulung.
Ki Patih Wulung disebutkan berputra Ki Gusti Smaranatha dan Ki Bendesa Manik Mas. Sedangkan Ki Gusti Smaranatha berputra Ki Rare Angon. Selanjutnya Ki Rare Angon berputra Ki Pasek Gelgel. Sementara Ki Bendesa Manik Mas bertempat tinggal di Gianyar.
Setelah menyeberang ke Bali, diceritakan bahwa Mpu Dwijaksara yang sudah sampai di Desa Kuntul Gading, berjalan terus menyusuri lereng Gunung Tuluk Biyu menuju Besakih. Di dalam perjalanan, beliau disambut dengan gembira oleh rakyat Bali, karena kedatangan brahmana sangat diharapkan, untuk dapat melaksanakan upacara pitra yadnya. Tapi, harapan itu belum bisa dikabulkan, karena beliau ingin segara sampai di Besakih untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh Gajah Mada.
Pada masa itu disebutkan, bahwa Mpu Sangkulputih juga datang ke Bali diiringi seorang pelayan bernama I Guto yang berasrama di Sorga. Karena penampilan I Guto bagaikan Mpu, maka warga masyarakat mengira ia seorang Mpu. Maka dari itu, dimohonlah agar ia menyelesaikan upacara Pitra Yadnya.
I Guto menyanggupi permohonan masyarakat. Mpu Dwijaksara yang kemudian mengetahui hal itu lalu menegur I Guto. Namun, di kemudian hari, karena tuntutan keadaan, Mpu Dwijaksara mengijinkannya menyelesaikan upacara Pitra Yadnya.
Sejak saat itu ia dipanggil I Sengguh, karena disengguh atau disangka seorang Mpu. Demikian, untuk selanjutnya dan sampai sekarang di Bali ada keturunannya yang disebut Senggu.
Mpu Sangkul Putih sendiri adalah keturunan Mpu Kananda, atau keturunan Mpu Gnijaya, yang datang ke Bali pada tahun 1335 M sebagai pemangku di Pura Besakih.